Si cantik dan si buruk rupa

Bukan yang kiri. Bukan yang kanan. Melainkan adalah sebuah dongeng, disebuah desa bernama desa sangrai, seorang pejaka sedang berlari menuju rumah sepulang sekolah. Namanya adalah tubruk. Ia lahir dengan berat 4kilogram, sehat, calon orang kekar. Semakin ia tumbuh, rambutnya menjadi hitam panjang dan bergelombang, seperti rambut Micheal Jackson, namun sayang, ia menjadi seorang yang berbeda dikeluarganya, hanya dari segi pigmen saja. Kulitnya coklat petang, dan mempunyai bintik hitam dipermukaan wajah dan punggungnya. Semakin coklat, karna setiap kali mencangkul disawah sepulang sekolah, ia tak pernah memakai baju, dan begitu semangat mencangkul sawahnya.
Tubruk adalah seorang puitis, namun tak suka menulis. Pikirannya berkata-kata setiap kali duduk manis disamping lahan sawah, menerawang jauh pada tepi sawah dan sekitarnya, sambil ditemani rokok yang menyala. Ia sumringah setiap kali menemukan petuah dari hasil renungannya ditepi sawah. Baginya itu adalah falsafah hidup untuk menjadi manusia yang arif dan bijaksana. Terbukti dari banyaknya teman yang terhibur karna ucap katanya, dan guru-guru yang suka akan semngat giat belajarnya.
Hingga pada suatu masa, disekolah mendapati murid baru. Seorang gadis kota yang hijrah ke desa karna urusan dinas orang tuanya. Namanya latte, saat itu ia berusia 17 tahun, berambut pirang alami, dengan dagu yang kata orang jawa “sigar jambe”, membentuk gambar hati, sedangkan tubruk, saat itu, jatuh hati dipandangan pertama padanya.
Ternyata latte mempunyai selera tinggi, apalagi soal penampilan. Dengan gaya tubruk yang alakadarnya, sederhana atau malah lebih pantas disebut pas-pasan, latte seringkali ilfil melihatnya yang suka menggoda dan perhatian seperti layaknya seorang pejaka.
Tubruk kehabisan bahan perhatian, sedang tak sebersitpun latte menghargai usahanya. Hingga tubruk rela berkorban untuk menulis puisi, setiap hari, selama setahun, hanya ditujukan untuknya, latte.
Rasa lelah seringkali datang, apalagi dengan banyaknya informan yang memberitahu bahwa puisi tubruk tak pernah dibaca latte, ada yang bilang dibuang serta merta.

img_20161109_023550
Begitu sombong latte, dan begitu pula seorang tubruk yang arif dan bijaksana, berikut begitulah cinta. Cinta yang membuat tubruk tak lepas semangat untuk menulis puisi setiap hari untuk latte. Sekian lama ia menulis puisi, hingga hari ujian nasional pun tiba.
Tubruk sudah pasti siap menghadapi ujian apapun dalam hidupnya, apalagi sebatas ujian nasional. Sedangkan latte, yang satu ruang dengan tubruk, masih dengan sombongnya, kelagapan mengerjakan soal ujian. Begitu banyak soal yang tak dimengertinya, hingga ia menangis tak bersuara, dengan hanya meneteskan air mata. Tubruk yang duduk disampingnya mengetahui, dan jelas pasti tahu. Karna setiap selesai mengrjakan satu soal, ia menoleh sebentar menghadap latte, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Tubruk mengetahui latte sedang butuh bantuan mengerjakan soal. Lalu dengan cerdik, ia menyuruh latte untuk menukar soal ujiannya dengan tubruk sewaktu tubruk sedang mengalihkan perhatian pengawas dengan alasan mau minta nomor hp. Selesai mengerjakan soalnya latte, tubruk menyuruh latte untuk gantian mengalihkan perhatian pengawas ujian. Latte meminta bantuan pengawas untuk membelikannya pembalut. Ketika pengawas bingung dengan permintaan latte, tubruk mengembalikan soalnya. Begitulah hingga bel selesai ujian berdering, dan tubruk memberinya sepotong puisi seperti biasa.
Hatinya kini bimbang atas perlakuannya terhadap seorang buruk rupa. Tubruk yang begitu baik, tak pernah dihiraukan. Ia merasa bersalah, dan baru menyadari bahwa tubruk tak pernah putus asa mengejarnya, seorang yang patut dihargai perjuangannya. Lebih dari itu, tubruk juga banyak memikat perhatian orang atas kearifan dan kebijaksaan yang dimilikinya. Dan kini, atas beratus puisi yang telah ditulisnya untuk seseorang, tubruk berhasil memikat hati seorang gadis kota yang dicintainya dengan sabar dan setia.
Foto dan cerita diambil dari ig: @kophilogica