Seekor nyamuk menggigit leherku, membangungkan lamunanku. Nyamuk itu cukup berani dalam menerima reflek tanganku. Ku tepuk, ia menghindar, kemudian hinggap lagi. Kubiarkan ia nongkrong dileherku, menemani lamunanku. Mungkin hanya seekor nyamuk yang bisa menjadi temanku untuk sekarang. Ia diam, dan menemaniku tanpa meminta suguhan.
Masih bersama nyamuk itu, mungkin ia mulai bosan melihatku melamun. Sampai akhirnya satu gigitan kembali menyengat dibagian leher. Kali ini aku sangat berkonsentrasi, menunggu kesempatan yang pas untuk melepas tamparan kilat pada leherku.
CEPLASSSS!!!!
Sedikit terasa panas dan perih pada bagian yang kutampar yang tidak lain adalah leherku sendiri. Kemudian kulihat tanganku bercap darah nyamuk. Dengan selesainya hidup nyamuk itu didunia ini, kutinggalkan pula lamunanku pada malam yang gelap dan sunyi.
Risaulah aku dengan tubuh terbaring berbantalkan botol aqua. Tidak ada teman. Tidak ada pekerjaan. Semilir angin dari selatan masuk menerobos cendela kamar yang kubiarkan terbuka, membawa bunyi kafilah-kafilah dan juga meniup-niup mataku. Dengan mata terkatup-katup kulihat jam dinding yang selalu berdetak membentuk irama, pukul satu dini hari. Ingin kuakhiri malam yang kadang tiba-tiba menyeretku kedalam pikiran-pikiran jahat dan busuk. Kurasa tidur adalah pekerjaan terbaik yang harus aku jalani saat ini.
Tidur bagiku adalah pekerjaan yang mudah-mudah sulit. Pada saat waktu tertentu terasa begitu mudah membuat mataku hanyut kedalam dimensi lain dan kembali dalam keadaan selamat dan lega. Namun pada waktu lain saat aku sedang menikmati pekerjaan itu, seringkali aku bertemu sesuatu yang ganjal yang memancarkan aura negatif, yang membuatku takut dan gelisah setelah menyelesaikan pekerjaanku. Ternyata pekerjaan yang menurutku paling mudah untuk dilakukan masih saja mengundang resiko. Dan sesuatu yang ganjal itu kusebut mimpi buruk.
Pada dekapan malam, aku bermimpi berada pada gurun yang tingkat suhunya jauh lebih tinggi dari tempat tinggalku. Seakan matahari lebih dekat dari jarak biasanya, begitu panas. Tidak ada sumber air untuk minum dan mengganti air keringat yang sedari tadi terkucur rata ditubuhku. Tidak ada pepohonan, hanya ada kaktus berduri yang berjejer sepanjang jalanan aspal yang sedang kupijak dengan seseorang yang belum kukenal.
Mengenai orang itu, ia hanya memakai sarung yang menutupi pusar sampai lutut. Perawakan dan postur tubuhnya tak jauh beda denganku. Namun wajah dan badannya penuh dengan sayatan pisau yang masih baru. Terlihat darah segar keluar dari sayatan-sayatan itu, menetes mengotori alas jalan yang ia pijak. Dengan alis berkerut dan mata yang tak lepas menatap jauh didalam mataku, aku bertanya.
“Siapa kamu?”
Ia tidak menjawab, malah semakin menatapku. Suhu panas cukup meredupkan rasa takutku kepadanya. Kembali kutanya tentang dirinya. Dan ia selalu diam.
“Kenapa kamu bisa bersamaku disini? Ah percuma, kamu hanya seorang bisu yang tak bisa membantuku keluar dari sini”
Satu menit setelah aku menatap lamat-lamat matanya karna gemas, ia menunjuk sebuah arah ke utara. Aku menoleh kearah itu dan kulihat tembok menjulang tinggi dan terbentang dari ujung barat ke ujung timur yang sebelumnya tidak ada.
Ia mulai berlari-lari kecil menuju ke tembok itu. Sekali ia menoleh seakan mengajakku untuk mengikutinya. Tak bisa kutolak ajakan itu. Pada keadaan seperti ini aku hanya mempunyai dua pilihan, mengikutinya tanpa tahu apa konsekuensinya, atau berdiri disini membiarkan kaki dan seluruh tubuhku meleleh mengotori aspal. Setidaknya di alam liar seperti ini, hanya ia yang mempunyai akal yang bisa kuandalkan.
Perjalanan sudah kutempuh dua setengah jam. Aku sudah tidak kuat lagi. Dan kulihat sayatan pada tubuh orang itu semakin banyak, bukan karna pisau, tapi karna ia selalu melindungiku dari duri kaktus yang sepanjang jalan tadi menyerangku. Sungguh aneh dan ganjal, disini aku menemukan tumbuhan bergerak dan jahat. Dan pada saat ini aku merasa semuanya nyata.
Kami berdua sudah berada di kaki tembok. Dengan tergesa-gesa aku memanjat tembok itu.
“Kita harus menuju kota itu.”
Dengan tersengal-sengal, kulihat sejauh mata memandang dari atas tembok, diseberang jauh sana terdapat banyak bangunan yang sepertinya dihuni oleh manusia. Namun ia malah semakin menatapku seakan menyimpan kesan tidak setuju dengan ucapanku.
Aku kehausan, dan tidak membawa bekal apapun. Memang benar, jika aku memaksa untuk pergi ke kota itu, aku akan mati ditengah jalan bersalju! Dan kulihat kebawah para kaktus bergendong-gendongan untuk melewati tembok.
Keadaan kembali menikamku. Berbeda dengan sebelumnya, suhu disini begitu rendah hingga membuat beku rambutku. Tak ada makhluk hidup lain selain pepohonan yang dihujani salju. Pandanganku mulai buram. Aku sudah linglung dan tidak tahu apa yang harus kulalukan. Kupaksa mataku untuk melihat sekitar, dan kutemukan orang tadi menghilang. Tanpa diundang dari atas tembok kudengar suara gerombolan anjing menggonggong yang menuju kearahku. Entah mereka datang dari mana, atau mungkin saja kaktus itu berubah wujud menjadi anjing. Lagi-lagi kejadian ini benar-benar aneh tapi terasa nyata.
Aku mengerahkan sisa tenagaku untuk berlari. Terus berlari hingga aku bertemu jalan menyimpang dan berkabut. Sementara jarak pasukan anjing itu semakin dekat denganku. Kemudian aku mulai menembus jalanan berkabut itu.
Entah keberanian apa yang membuatku berani menembus jalan ini. Yang pikirkan hanya cara untuk kabur dari kejaran pasukan anjing itu, berharap kabut tebal akan membuat mereka tak bisa melihatku. Berbeda dengan sebelumnya, suhu disini hangat. Kekuatanku habis tak tersisa. Aku tak bisa lari lagi. Aku diam sejenak mengatur napas, dan kebut-kabut itu perlahan menghilang, membuatku dapat melihat sekitar. Dan tidak ada suara anjing menggonggong lagi!
Berbeda lagi dengan keadaan sebelumnya, disini mulai kutemukan pepohonan hijau yang tumbuh rumpun disamping kanan kiri jalan yang kulewati. Kulihat para burung pipit bersiul saling balas membalas diatas tangkai pepohonan. Aku merasa ingin disini saja tanpa melangkah lagi kedepan menembus yang tidak pasti. Kutemukan danau dibelakang pepohonan. Aku langsung terjun dan minum sepuas-puasnya. Sangat nikmat, dan rasa lelahku perlahan mulai pudar. Hingga setelah aku membersihkan baju, kulihat kearah jam satu, pasukan manusia berbaju ihram sedang berbaris seperti pasukan militer dengan satu komandan yang memberi komando. Perawakan dan postur tubuh mereka sama rata, dan mirip sekali denganku. Kali ini aku bertemu dengan orang-orang berwajah bersih. Instingku mengatakan mereka lebih baik dari orang sebelumnya bersamaku.
“Permisi, mohon maaf. Bisa bantu saya menemukan jalan pulang?” Aku bertanya pada komandan yang sedang mengarah kearah para prajuritnya.
Aku masih menunggu ia menoleh dan menjawab pertanyaanku. Hingga saatnya kejadian sepersekian detik membuatku berteriak dan bangkit dari tidur.
Aku terngerah-engah dan menatap kosong dinding kamarku. Kejadian terakhir itu begitu singkat. Yang kulihat adalah komandan itu menggerakkan lehernya untuk menoleh dengan sangat cepat. Dan kulihat begitu banyak belatung hinggap dilubang hidung, melubangi pipi, dan pada lubang mata miliknya. Kuacuhkan pandanganku kearah pasukan berbaju ihram, dan kepala mereka berganti menjadi kepala pasukan anjing yang tadi mengejarku. Aku cepat-cepat berbalik arah mencoba untuk lari, namun dihadapanku berdiri tegak orang dengan sayatan disekujur tubuh tadi dan menggenggam kaktus untuk siap dihantamkan kearahku. Ia hanya tersenyum, dan semakin membuatku takut.
Pandanganku kosong. Aku belum beranjak dari tempat tidur. Aku kembali terlentang memandang langit-langit kamar, sambil merenungkan mimpi-mimpi yang kualami tiga hari berturut-turut. Ketiga mimpi itu terasa mirip. Setiap kali bermimpi aku dipertemukan jalan panjang yang membuatku harus berlari, bertemu sesuatu hidup yang kadang manusia dan kadang hewan atau kadang malah bukan keduanya, entah alien atau iblis yang jelas mereka sama-sama memiliki wajah yang sangat buruk.
Hari ini hari Jum’at. Setelah aku bangun dari tempat tidur dan bersiap diri untuk berangkat sekolah, Ibu berpesan kepadaku saat sarapan.
“Nanti sholat Jum’at dirumah saja. Habis sholat Ibu minta tolong diantar ke rumah si mbah”
Aku tidak langsung mengiyakan. Bukan karna tidak mau melaksanakan perintah Ibu, namun aku teringat oleh mimpiku saat Ibu bicara sholat. Dan muncul pertanyaan dalam benakku. Apakah mimpiku bermula dari aku tidak sholat subuh selama tiga hari? Kemudian aku teringat hadits tentang amal yang diterima pertama kali adalah sholat. Ketika amalan sholat lima waktu seseorang berpredikat baik, maka amalan yang lain akan dihitung baik. Ketika amalan sholat seseorang berpredikat buruk, maka buruklah semua amalannya yang lain. Apakah munculnya manusia bersayat adalah refleksi dari sholatku, dan pasukan berkepala anjing itu adalah refleksi dari perbuatan-perbuatanku? Sekarang aku semakin takut dan yakin mimpi itu akan kembali lagi, malam ini.